PEMBUATAN KOMPOS DENGAN METODE AEROB

           

PRAKTIKUM KPKT ACARA 3

PEMBUATAN KOMPOS

 

Pertanian dan perkebunan mengalami peningkatan produksi dikarenakan kebutuhan yang terus meningkat. Akibatnya terjadi peningkatan residu tanaman yang dihasilkan, seperti jerami, kulit buha, serasah daun, dan lai-lain. Residu tanaman tersebut masih memiliki kandungan nutrisi yang dapat menjadi pupuk sehingga memiliki nilai ekonomis seperti kompos yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Faatih (2012) cit Suwatanti dan Widiyaningrum (2017), pengomposan merupakan salah satu proses pengolahan limbah organik menjadi material baru seperti halnya humus. Kompos umumnya terbuat dari sampah organik yang berasal dari dedaunan dan kotoran hewan, yang sengaja ditambahkan agar terjadi keseimbangan unsur nitrogen dan karbon sehingga mempercepat proses pembusukan dan menghasilkan rasio C/N yang ideal. Selain itu menurut Bokhorst dan ter Berg (2001) cit  Willekens dan Cloet,( 2003) cit Viaene et al (2016) pengomposan adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengubah produk organik menjadi produk yang stabil dan kaya humus kondisi terkontrol, yaitu kondisi kelembaban dan oksigen yang optimal untuk memfasilitasi proses dekomposisi

Proses pengomposan dapat berlangsung secara aerob (memerlukan oksigen) dan anaerob (tanpa oksigen). Pengomposan secara aerob menghasilkan CO2, H2O, unsur hara, dan sebagian humus, sedangkan secara anaerob menghasilkan CH4 dan CO2 dan beberapa senyawa intermidiet (senyawa antara) yang sering menimbulkan bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan. Energi yang dihasilkan dalam proses pengomposan secara aerob jauh lebih besar (484 - 674 kcal/mol glukosa) dibanding cara anaerob (26 kcal/mol glukosa), sehingga proses pengomposan secara aerob berlangsung lebih cepat (Saraswati dan Praptana, 2017).

Pada kesempatan kali ini untuk memenuhi Praktikum Mandiri KPKT Acara 3 yang berjudul Pembuatan Kompos saya akan membuat kompos dengan metode aerob. Praktikum ini telah dilaksanakan pada hari Rabu, 30 September 2020 di Desa Sendangarum Mingggir Sleman DIY.  Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu alat dan bahan disiapkan. Kemudian sampah bahan organik dipotong kecil-kecil, lalu dicampur dengan bekatul secukupnya. Menurut Saraswati dan Praptana (2017) semakin kecil partikel, semakin banyak jumlahnya dan semakin luas pula jumlah permukaan yang dicerna oleh organisme. Pencacahan bahan kompos akan memberi akses lebih luas bagi air dan mikroba pengompos untuk masuk ke dalam jaringan sisa tanaman. Ukuran pencacahan bahan tetap mengacu pada ketersediaan pori aerasi sebab pencacahan terlalu halus. Selanjutnya membuat larutan activator dengan perbandingan air : larutan gula : EM4 (50:1:1) diukur dengan suntikan dan gelas ukur. Lalu larutan activator dicapurkan ke bahan kompos dengan disemprotkan sambil diaduk agar tercampur. EM4 ini digunakan sebagai bioaktivator dalam pembuatan kompos untuk mempercepat perkembangan mikroba. Menutrut Indriani (2007) cit Suwantanti dan Widyaningrum (2017) larutan EM4 mengandung mikroorganisme fermentor yang terdiri dari sekitar 80 genus, dan mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam fermentasi bahan organik. Dari sekian banyak mikroorganisme, ada tiga golongan utama, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., dan jamur fermentasi. Kemudian ember ditutup dengan plastik gelap. Penutupan kompos dengan plastik gelap berguna sebagai perangkap panas dan menjaga agar tidak terjadi pencucian hara oleh air hujan dan substrat tidak terlalu lembab (basah). Kelembaban ideal bahan kompos adalah 40 - 60% (Suwantanti dan Widyaningrum, 2017).

Kompos diaduk setelah 4 hari untuk menjaga agar suhu wadah tidak terlalu panas. Pada awal pengomposan menunjukkan peningkatan suhu dan kemudian terjadi penuruan suhu minggu berikutnya hingga stabil. Peningkatan dan penurunan suhu yang terjadi selama masa pengomposan berlangsung menunjukkan bahwa kehidupan mikroorganisme mesofilik dan termofilik silih berganti berperan (Pratiwi 2013 cit Suwantanti dan Widyaningrum, 2017 ). Suhu yang berangsur-angsur menurun akibat berkurangnya bahan organik yang diurai olek mikroorganisme dan mengindikasikan bahwa kompos sudah mulai matang. Cek dan balik kompos secara berkala guna menjaga suhu. Kelembaban bahan kompos berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan. Menurut Juanda et al, (2011) cit Suwantanti dan Widyaningrum, 2017 ).  , jika tumpukan kompos terlalu lembab maka proses dekomposisi akan terhambat. Hal ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikrorganisme aerobik mati dan akan digantikan oleh mikroorganisme anaerobik. Kelembaban bahan kompos berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan.

Kemudian kompos dicek dan dibalik setelah 7 hari dan setelah 21 hari, apabila sudah hancur dan tidak menyengat kompos sudah jadi. Kompos didiamkan hingga matang yang ditandai dengan bau yang tidak menyengat dan remah. Hal tersebut sesuai dengan Sutanto (2002) menyatakan bahwa pengomposan menghasilkan kompos yang sudah matang ditandai dengan ciri-ciri kompos tidak berbau, remah, dan berwarna hitam. Apabila kompos belum matang digunakan untuk tanaman budidaya, maka tanaman akan terganggu. Hal tersebut karena terjadi imobilisasi atau perubahan bentuk hara N menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, kompos belum matang (belum stabil) yang diberikan pada tanah akan terdekomposisi secara anaerobik sehingga menghasilkan senyawa-senyawa fitotoksik seperti ammonia, nitrit-nitrogen, besi dan mangan. Dekomposisi di dalam tanah juga menyebabkan panas yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Setyorini et al, 2006 cit  Sutriana dan Baharuddin, 2019). Kompos merupakan bahan organik yang berupa pupuk organik yang dapat berfungsi sebagai buffer (penyangga) dan penahan lengas tanah. Kualitas pupuk organik ditentukan oleh komposisi bahan mentahnya dan tingkat dekomposisinya (Nuraini dan Nanag, 2003 cit  Zulkarnain et al.,  2013). Oleh sebab itu diharapkan dengan penambahan bahan organik pada tanah dapat memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan kesuburan tanah sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Saraswati, R. dan H. Praptana. 2017. Percpatan proses pengomposan aerobic menggunakan biodekomposer. Jurnal Perspektif 16 (1) : 44-57.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.

Sutriana, S. dan R. Baharuddin. 2019. Uji tingkat kematangan kompos terhadap produk varietas Bawang Merah (Allium ascolanicum L.) pada tanah gambut.  Jurnal Ilmiah Pertanian 16 (01) : 25 – 35.

Suwatanti, E.P.S. dan P. Widiyaningrum. 2017. Pemanfaatan MOL limbah sayur pada proses pembuatan kompos. Jurnal MIPA 1 : 1-6

Viane, J. J. Van Lancker, B. Vandecasteele, K. Willekens, J. Bijttebier, G. Ruysschaert, S. D Neve, and B. Ruebens. 2016. Opportunities and barriers to on-farm composting and compost application : A case study from northwestern Europe.  Waste Management 48 : 181-192.

Zulkarnain, M. B. Prasetya, dan Soemarno. 2013. Pengaruh kompos, pupuk kandang, dan custom-Bio terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil Tebu (Saccharum officinarum L.) pada entisol di kebun Ngrangkah-Pawon, Kediri). Indonesian Green Technology Journal 2 (1) : 45- 52.  


DOKUMENTASI

Gamvar 1. Pemotongan sampah bahan organik

Gambar 2. Pembuatan Larutan Aktivator

Gambar 3. Bahan kompos Setelah Dicampur


     
Gambar 4. Hasil Pembuatan Kompos
             


Mutiari Rahmadhani
18/430397/PN/15714
Golongan B3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan tugas prakarya kerajinan bahan lunak

MATERI SESORAH BASA JAWA

Istilah – istilah dalam dunia batik